jump to navigation

Pendidikan Mei 22, 2009

Posted by millamillo in Uncategorized.
trackback

Membicarakan hal yang satu ini mungkin tidak akan habis-habisnya. Ya, dengan keadaan yang ada sekarang ini, ditandai dengan demo di sejumlah tempat yang pada dasarnya menuntut pendidikan murah. Tapi saya tidak ingin menulis tentang demo tersebut. Saya hanya ingin menceritakan beberapa keluhan handai taulan (bahkan sampai berdebat kusir hehehe) tentang pendidikan ini.

Salah satu teman saya, agak berang, bilang “Masak sudah sudah ada BOS, kita masih harus bayar Rp. 15.000 per bulan? Di SD lainnya kok enggak bayar lagi.”. Kebetulan memang anaknya berada di SD Negeri 2, dimana ada 3 SDN dalam satu lingkungan sekolah.

Saya coba jadi counter-nya, “Mungkin di SDnya banyak ekstra kurikuler. Sudah cek atau belum? Ada komputer atau enggak?”.

Dia langsung menyanggah, “Ah enggak ada kayak gituan. sama aja!”

Akhirnya lama berdebat, bahkan ditambah satu orang lagi. Cuma jadi kemana-mana buntutnya. Menuduh KepSek korupsi, Guru korupsi, Masya Allah. Setelah lama berdebat, disimpulkan bahwa sebagian dana anggaran orang tua tadi digunakan untuk perbaikan WC, prasarana gedung, tiang bendera, biaya mencat pagar dan lain-lain.

Akhirnya, saya merasa menyadari ada ketidak-adilan disini. Kalau sudah tidak adil, pasti melanggar Pancasila, “Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Kita bisa bandingkan SD Negeri di tengah kota dengan SD Negeri di kampung. Terasa sekali ketimpangan sosial antara kedua SD tersebut. Berita hari ini, ada satu SDN yang roboh.

Menurut ‘mata-adil’ saya, seharusnyalah setiap Sekolah Negeri di negeri ini mempunyai prasarana yang sama, baik dipedalaman Papua sana, atau yang berada di pusat kota Jakarta. Tidak boleh dibedakan. Karena ini Sekolah Negeri (atau Sekolah miliknya negara), maka tidak boleh juga menerima sumbangan dari pihak lain. Mutlak harus dibiayai negara.

Perbedaan Uang Pangkal juga menjadi pertanyaan. Kok, sama sama sekolah negeri uang pangkal berbeda? Tiap sekolah pasti punya jawaban (atau alasan) mengapa mereka menarik uang pangkal sedemikian besar. Uang sejenis inipun harus ditiadakan untuk sekolah Negeri. Alasannya sama dengan di atas, tidak boleh ada perbedaan antar sekolah negeri.

Tentu lain halnya dengan sekolah swasta, yang sah-sah saja menerima sumbangan dari pihak manapun.
Saya tidak tahu keadaan makro dari Anggaran Belanja Negara untuk pendidikan yang konon terlalu kecil. Saya juga tidak mengetahui kondisi dana subsidi Minyak (yang jadi BOS).

“Kaca mata” saya mungkin perlu diperbaiki, untuk menentukan apakah cukup adil kondisi di atas. Apakah benar pendapat saya, bahwa setiap Sekolah Negeri harus memiliki prasarana yang sama? Saya sendiri masih belum yakin. :)
Apalagi setelah baca blognya Harry Sekolah Swadaya – diskusi dengan penyelenggara sekolah gratis.

yang juga salah satu peneliti sejarah Malang.
Pujian pada Belanda sebagai peletak dasar sistem pendidikan di Malang ini, lanjut Cahyono, memang beralasan. Sebab saat Jepang masuk pada 1942 dan ke wilayah Malang, semua sistem pendidikan yang dibangun rapi oleh Belanda dipaksa untuk tutup. Hal ini tidak lepas dari semangat asli imperialisme yang ingin berkuasa mutlak pada wilayah jajahannya dan membiarkan warga pribumi tidak mendapat pendidikan.
Disinggung tentang pola pengembangan pendidikan pada era 1938 – 1958, pemilik Rumah Makan Inggil itu menyebut bila asas pemerataan menjadi hal utama. “Pada setiap perencanaan pembangunan yang dijalankan, selalu memberi ruang dan lahan adanya lembaga pendidikan. Dengan demikian, praktis pada semua wilayah masyarakat bisa mendapat kesempatan,” jelas Cahyono.
Dalam berbagai catatan yang disuguhkan Cahyono, pada kurun waktu itu, wilayah Malang sudah layak disebut sebagai Kota Pendidikan. Ini berdasar dari banyaknya lembaga pendidikan yang ada, mulai jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Untuk TK saja, terdapat 59 lembaga yang kebanyakan memang berbasis pada organisasi keagamaan, seperti Kristen, Katolik, dan Islam.
Sedang pada jenjang SD, terdapat 122 lembaga dengan jumlah murid mencapai 48 ribu anak. Untuk SMP, di Malang sudah mampu menyediakan 39 lembaga pendidikan dengan 10 ribu siswa. Pada jenjang SMA, terdapat 49 sekolah baik yang berstatus negeri maupun swasta. Bahkan untuk jenjang perguruan tinggi, sudah ada tujuh universitas, tiga institut, satu sekolah tinggi, satu perguruan tinggi, dan empat akademi.
“Kondisi alam memang menjadi faktor penting tumbuhkan pendidikan di Malang ini. Satu hal juga yang bisa dipelajari bahwa sistem pendidikan kala itu praktis tidak berbiaya. Terlebih pada kalangan khusus seperti putra-putri pahlawan kemerdekaan, mereka bisa menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi,” tutur Cahyono.
Sementara Kepala SMPK Frateran Celaket 21, Markus Basuki SPd, menilai bila pelajaran penting yang bisa diambil dari sistem pendidikan masa lalu adalah orientasi pembelajarannya. Menurut Basuki, pendidikan harusnya mampu memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat. “Kalau dulu lebih pada agraria saja, kalau sekarang pendidikan mengikuti tren pasar. Menjamurnya SMK itu salah satu contohnya,” ungkapnya.
Markus menambahkan memang kurikulum harus sesuai dengan keadaan, tetapi jangan sampai menghilangkan kearifan budaya lokal. “Bolehlah ada kurikulum yang sifatnya nasional. Tapi setiap lembaga pendidikan harus memiliki visi yang jelas bahwa adat serta kebudayaan lokal harus selalu dijunjung tinggi,” ucapnya.

Komentar»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komentar